Rabu, 25 Juli 2007

ketika hati ini jauh darinya ?

hati adalah segala-galanya, ketika hati tidak merasa tentram sangat tidak enak merasa gelisah rasa takut yang sering menghantui, males berpikir, tidak mau berkaya, dll. dan kitalah yang paling tau kondisi hati kita, di saat kita sering bermaksiat kita juga yang merasakan betapa kotornya hati ini akan tetapi sebaliknya jika hati ini senantiasa dekat dengan Allah, begitu terasa indah hidup ini, senantiasa ingin berkarya untuk orang lain, merasa tentram, tenang dan optimis menjalankan hidup ini, ya Allah berikan kekuatan kepada hambamu ini untuk bisa memelihara hati ini ...

cerita desa kecil di sampang madura

ini adalah kunjungan kedua saya ke ketapang, dari jakarta saya harus naik kereta karna tiket bus sudah habis terjual mungkin karna musim libur tapi saya nikmati berjalanan dengan menggunakan kereta, dari jakarta menuju surabaya (menginap di rumah sahabat), esok harinya di lanjutkan menuju sampang madura, ternyata tidak banyak berubah masih seperti pertama kali saya ke desa ini, bedanya saya berangkat ke sampang kali ini dengan teman yang berbeda.ternyata lantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an menjelang sholat masih ramai mengajak orang untuk sholat berjamaah di masjid ini sungguh suasana yang begitu damai dan tentram, meskipun banyak orang bilang kalau penduduk madura itu agak sedikit keras, memang keras sih karna itu sudah menjadi kebiasaan penduduk sampang madura, tapi banyak juga yang baik, hari pertama saya sampai di sana saya harus istirahat di tempat penginapan karna begitu lelah berjalanan dari surabaya menuju sampang dengan menggunakan bus ekonomi, hari kedua dan selajutnya di lanjutkan dengan mengerjakan tugas kerja yaitu melakukan survey ke penduduk nelayan, rasanya begitu melelahkan dengan quisioner yang begitu banyak.

Senin, 02 Juli 2007

Jika Esok Tak Pernah Datang

Setiap bangun tidur dan membuka mata, yang terucap adalah kalimat syukur bahwa Allah masih mengizinkan diri ini kembali melihat fajar. Merasai hembusan angin pagi yang menerobos celah jendela, dan menjumpai semua yang semalam terlihat sebelum mata terpejam masih seperti sedia kala, tidak ada yang berubah.

Kemudian melangkahlah dengan iringan doa di gerbang mungil menuju arena perjuangan kehidupan. Dengan tuntunan-Nya lah diri ini tak melangkah ke jalan yang salah, tak menjamah yang bukan hak, tak melihat yang dilarang, tak memamah yang tak halal, tak mendengar yang batil, dan tak banyak melakukan yang sia-sia. Karena setiap waktu yang terlewati pasti akan ditagih tanggungjawabnya. Lantaran semua jalan yang dilalui akan dimintai kesaksiannya atas diri ini. Dan sebab seluruh indera ini akan diminta bicara tentang apa-apa yang pernah tercipta.

Hari ini, masih ada lalai terbuat. Masih juga lengah sehingga khilaf tercipta. Meski segunung tausyiah pernah didengar, mulut ini masih terselip berucap dusta, saringan telinga ini tetap tak mampu membendung suara-suara melenakan, dan masih saja ada perbuatan yang salah, walau itu dalam bingkai alpa. Padahal, di setiap terminal ruhiyah, sedikitnya lima kali sehari lidah ini berucap, tangan ini tertengadah, dan mata menitikkan butir bening, seraya memohon perlindungan dari Allah dijauhkan dari salah dan dosa. Tetapi, masih juga langkah ini menuju arah yang sesat.

Setiap hari menangis, setiap hari meminta ampunan, setiap hari berbuat salah. Hari ini mencipta dosa, esok sibuk bersujud, meluluhkan air mata, menyusun kalimat doa, menganyam pinta semoga Allah menghapusnya dalam sekejap. Detik ini berbuat salah, terlalu lama menghapusnya, bahkan kadang lupa. Padahal, bisa saja sedetik kemudian diri ini tak lagi sempat memohon ampunan. Lupakah bahwa waktu sangat cepat berlalu. Lupakah pula bahwa menyesal di akhirat hanyalah kesiaan yang nyata?

Bagaimana jika hari esok tak pernah datang, padahal baru saja seharian ini berenang di lautan dosa. Padahal belum sempat menghapus noda hari ini, kemarin, sepekan yang lalu, setahun lalu, dan bertahun-tahun yang lalu. Bagaimana jika Allah tak berkenan membukakan mata kita setelah sepanjang malam terlelap? bagaimana jika perjumpaan dan canda riang bersama keluarga semalam adalah yang terakhir kalinya. Ketika esok harinya ruh ini melihat seluruh keluarga menangisi jasad diri yang terbujur kaku berkafan putih.

Bagaimana jika matahari esok terbit dari barat, tak seperti biasanya dari timur? Padahal hari ini lupa menyebut nama-Nya. Padahal di hari ini, belum sempat mengunjungi satu persatu keluarga, kerabat, sahabat, tetangga, dan orang-orang yang pernah tersakiti oleh lidah dan tindakan kita. Sudah terlalu lama tak mencium kaki orang tua mencari keridhaannya, walau tak terhitung salah diri. Belum lagi sempat berderma, setelah derma kecil beberapa tahun lalu yang sering kita banggakan.

Dan jika memang esok tak pernah datang. Sungguh celakalah diri ini. Benar-benar celaka, bila belum sempat mencuci dosa sepanjang hidup. Bila belum mendengar ungkapan maaf dari orang-orang yang pernah terzalimi, bila belum menyisihkan harta yang menjadi hak orang lain, bila belum sempat meminta ampun atas segala salah dan khilaf yang tercipta.
Maka, saat pagi ini Allah masih memperkenankan diri menikmati fajar, mulaikan hari dengan kalimat, "terima kasih, Allah" (Gaw).Oleh Bayu Gawtama (eramuslim.com)